Perlawanan di Aceh (1873–1904)

1        Perlawanan di Aceh (1873–1904)
a.Latar Belakang Perlawanan
Aceh memiliki kedudukan yang sangat strategis sebagai pusat perdagangan. Aceh banyak menghasilkan lada dan tambang serta hasil hutan. Sampai dengan tahun 1871, Aceh masih mempunyai kebebasan sebagai kerajaan yang merdeka. Situasi ini mulai berubah dengan adanya Traktrat Sumatra (yang ditandatangani Inggris dengan Belanda pada tanggal 2 November 1871). Isi dari Traktrat Sumatra 1871 itu adalah pemberian kebebasan bagi Belanda untuk memperluas daerah kekuasaan di Sumatra, termasuk Aceh. Dengan demikian, Traktrat Sumatra 1871 jelas merupakan ancaman bagi Aceh.
b.Jalannya Perlawanan

Sebelum terjadi peperangan, Aceh telah melakukan persiapan-persiapan. Sekitar 3.000 orang dipersiapkan di sepanjang pantai dan sekitar 4.000 orang pasukan disiapkan di lingkungan istana. Pada tanggal 5 April 1873, pasukan Belanda di bawah pimpinan Mayor Jenderal J.H.R. Kohler melakukan penyerangan terhadap Masjid Raya Baiturrahman Aceh. Pada tanggal 14 April 1873, Masjid Raya Aceh dapat diduduki oleh pihak Belanda dengan disertai pengorbanan besar, yakni tewasnya Mayor Jenderal Kohler.
Setelah Masjid Raya Aceh berhasil dikuasai oleh pihak Belanda, maka kekuatan pasukan Aceh dipusatkan untuk mempertahankan istana Sultan Mahmuh Syah. Dengan dikuasainya Masjid Raya Aceh oleh pihak Belanda, banyak mengundang para tokoh dan rakyat untuk bergabung berjuang melawan Belanda. Tampilah tokoh-tokoh seperti Panglima Polim, Teuku Imam Lueng Bata, Cut Banta, Teungku Cik Di Tiro, Teuku Umar  dan isterinya Cut Nyak Dien. Serdadu Belanda kemudian bergerak untuk menyerang istana kesultanan, dan terjadilah pertempuran di istana kesultanan. Dengan kekuatan yang besar dan semangat jihad, para pejuang Aceh mampu bertahan, sehingga Belanda gagal untuk menduduki istana.
Pada akhir tahun 1873, Belanda mengirimkan ekspedisi militernya lagi secara besar-besaran di bawah pimpinan  Letnan Jenderal J. Van Swieten dengan kekutan 8.000 orang tentara.  Pertempuran seru berkobar lagi pada awal tahun 1874 yang akhirnya Belanda berhasil menduduki istana kesultanan. Sultan beserta para tokoh pejuang yang lain meninggalkan istana dan terus melakukan perlawanan di luar kota.
Menyadari betapa sulitnya mematahkan perlawanan rakyat Aceh, pihak Belanda berusaha mengetahui rahasia kekuatan Aceh, terutama yang menyangkut kehidupan sosial-budayanya. Oleh karena itu, pemerintah Belanda mengirim Dr. Snouck Hurgronye (seorang ahli tentang Islam) untuk meneliti soal sosial budaya masyarakat Aceh. Dengan menyamar sebagai seorang ulama dengan nama Abdul Gafar, ia berhasil masuk Aceh.
Hasil penelitiannya dibukukan dengan judul De Atjehers  (Orang Aceh). Dari hasil penelitiannya dapat diketahui bahwa  sultan tidak mempunyai kekuatan tanpa persetujuan para kepala di bawahnya dan ulama mempunyai pengaruh yang sangat besar di kalangan rakyat. Dengan demikian langkah yang ditempuh oleh Belanda ialah melakukan politik  “de vide et impera ( memecah belah dan menguasai).
Belanda mulai memikat hati para bangsawan Aceh untuk memihak kepada Belanda. Pada bulan Agustus 1893, Teuku Umar menyatakan tunduk kepada pemerintah Belanda dan kemudian diangkat menjadi panglima militer Belanda. Teuku Umar memimpin 250 orang pasukan dengan persenjataan lengkap, namun kemudian bersekutu dengan Panglima Polim menghantam Belanda. Tentara Belanda di bawah pimpinan  J.B. Van Heutz berhasil memukul perlawanan Teuku Umar dan Panglima Polim. Teuku Umar menyingkir ke Aceh Barat dan Panglima Polim menyingkir ke Aceh Timur. Dalam pertempuran di Meulaboh pada tanggal 11 Februari 1899, Teuku Umar gugur. Sementara itu, Panglima Polim dan Sultan Muhammad Daud Syah, masih melakukan perlawanan di Aceh Timur. Belanda berusaha melakukan penangkapan. Pada tanggal 6 September 1903 Panglima Polim beserta 150 orang parjuritnya menyerah setelah Belanda melakukan penangkapan terhadap keluarganya. Hal yang sama juga dilakukan terhadap Sultan Muhammad Daud Syah. Pada tahun 1904, Sultan Aceh dipaksa untuk menan-datangani Plakat Pendek yang isinya sebagai berikut.
1)Aceh mengakui kedaulatan Belanda atas daerahnya.
2)Aceh tidak diperbolehkan berhubungan dengan bangsa lain selain dengan belanda.
3)Aceh menaati perintah dan peraturan Belanda.
Dengan ini, berarti sejak 1904 Aceh telah berada di bawah kekuasaan pemerintah Belanda.

0 Comments:

Post a Comment