Showing posts with label KUMPULAN CERITA PENDEK. Show all posts
Showing posts with label KUMPULAN CERITA PENDEK. Show all posts

Legenda Candi Prambanan, Kisah Roro Jonggrang dan Bandung Bondowoso

Legenda Candi Prambanan merupakan salah satu cerita yang terkait dengan asal usul dari kompleks candi Hindu terkenal di Indonesia, yaitu Candi Prambanan yang terletak di Jawa Tengah. Meskipun legenda ini bersifat legendaris dan mitologis, namun merupakan bagian dari warisan budaya yang diwariskan secara turun temurun di masyarakat.

 

 

 

Candi Prambanan, dengan arsitektur indahnya yang penuh dengan relief dan patung-patung yang megah, menjadi simbol dari kisah cinta tragis ini. Menurut legenda yang dikenal dalam masyarakat Jawa, terdapat dua tokoh utama yang sering dikaitkan dengan asal usul Candi Prambanan yaitu Bandung Bondowoso dan Roro Jonggrang.

 

 

 

Legenda Candi Prambanan adalah salah satu yang paling terkenal di Indonesia. Yang mengisahkan cerita cinta tragis antara dua tokoh utama dalam mitologi Jawa, yaitu Roro Jonggrang dan Bandung Bondowoso, yang sampai sekarang diabadikan dalam bentuk candi megah yang berada di kompleks Prambanan. Berikut adalah gambaran versi legenda Candi Prambanan

 

 

 

 

Legenda Candi Prambanan: Kisah Cinta Roro Jonggrang dan Bandung Bondowoso

 

 

 

Alkisah jaman dahulu kala terjadi sebuah peperangan antara dua kerajaan Hindu di Pulau Jawa di daerah yang sekarang disebut Prambanan, yakni Kerajaan Pengging dan Keraton Boko. Kerajaan Pengging dipimpin oleh raja yang arif dan bijaksana bernama Prabu Damar Moyo dan memiliki seorang putra yang sakti mandraguna Bandung Bondowoso. Sedangkan Kerajaan Boko diperintah seseorang raja yang kejam, berwujud raksasa yang suka makan daging manusia bernama Prabu Boko. Meski berwujud raksasa, Prabu Boko memiliki seorang putri berwujud manusia bernama Loro Jonggrang yang cantik bak seorang dewi dari kayangan

 

 

 

 

Roro Jonggrang sangat terkenal karena kecantikannya dan kebijaksanaannya. Roro Jonggrang adalah putri tunggal dari kerajaan Boko dan ayahnya adalah seorang raja yang bijaksana. Sehingga Kerajaan yang dipimpim rakyatnya sangat makmur dan sejahtera.

 

 

 

Di sebelah timur Kerajaan Boko, terdapat Kerajaan Pengging yang dipimpin oleh seorang pangeran kuat dan berani bernama Bandung Bondowoso. Pangeran Bandung Bondowoso adalah seorang pemuda yang berwibawa dan terkenal dengan kemahirannya dalam seni bela diri. Dia juga sangat pandai dalam ilmu sihir.

 

 

Suatu ketika dalam peperangan antara Kerajaan Boko dan Kerajaan Pengging, Kerajaan Boko dikalahkan oleh Kerajaan Pengging yang dipimpin oleh Bandung Bondowoso. Prabu Boko tewas di medan perang. Dia terbunuh oleh Bandung Bondowoso yang sangat sakti. Bandung Bondowoso kemudian menempati Istana Prambanan tak sengaja melihat putri dari Prabu Boko yang cantik jelita yaitu Roro Jonggrang, sehingga timbul keinginannya untuk memperistri Roro Jonggrang.

 

 

 

Roro Jonggrang tidak ingin menikahi Bandung Bondowoso karena ia tahu bahwa Pangeran tersebut memiliki kekuatan magis yang sangat kuat dan pembunuh ayahnya. Untuk menghindari pernikahan dan merencanakan balas dendam, Roro Jonggrang merencanakan suatu rencana yang licik.

 

 

 
Dia berpura-pura setuju untuk menikah dengan Pangeran Bondowoso, tetapi dengan syarat. Roro Jonggrang mengatakan bahwa saya akan menikahinya jika Pangeran Bandung Bondowoso bisa membangun Seribu candi dan sumur yang sangat dalam dalam waktu semalam. Pangeran Bandung Bondowoso menerima tantangan ini karena dia memiliki kekuatan magis yang luar biasa.

 

 

Malam itu, Pangeran Bondowoso memulai upaya membangun sumur yang dalam dan seribu candi dengan bantuan makhluk gaib. Roro Jonggrang sangat khawatir jika Pangeran Bandung Bondowoso berhasil. Dia pun merencanakan sebuah trik.

 

 

Ketika hampir selesai membangun seribu candi itu, Roro Jonggrang memerintahkan rakyatnya untuk membakar jerami dan memukul alat musik secara bersamaan. Matahari palsu pun mulai terbit, dan burung-burung terbang ke udara, mengira sudah pagi. Makhluk gaib yang membantu Pangeran Bandung Bondowoso membangun candi pun panik dan kabur. Mereka bergegas meninggalkan pekerjaan mereka yang belum selesai.

 

 

 

Pangeran Bandung Bondowoso yang kecewa dan tahu akan penipuan ini, murka dan marah. Dalam kemarahannya, ia mengutuk Roro Jonggrang untuk menjadi salah satu dari seribu patung di candi yang hampir selesai itu. Dan inilah bagaimana Candi Prambanan tercipta.

 

 

 

Legenda ini menjadi bagian dari cerita dan interpretasi sejarah Candi Prambanan yang hingga kini menjadi daya tarik bagi para pengunjung untuk menjelajahi warisan budaya dan sejarah Indonesia.

 

 

 

 

Top of Form

Bottom of Form

 


Tipu daya Kancil dalam Memenangkan Perlombaan untuk menjadi Sang pemimpin!

 Cerita fabel yang mengisahkan interaksi antara Kancil, Buaya, dan Sapi.

 

 

Berikut adalah ceritanya:

 

Suatu hari di hutan yang rimbun, hiduplah seekor Kancil yang cerdik. Kancil ini dikenal karena kecerdasannya dalam mengatasi segala masalah. Di sungai yang mengalir di dalam hutan itu, tinggal seekor Buaya yang seringkali membuat kesulitan bagi hewan-hewan lain dengan perilakunya yang licik.

 

 


 

Satu hari, ketika Kancil sedang menyeberangi sungai, Buaya keluar dari air dan berkata, "Hai, Kancil! Aku sangat lapar hari ini. Aku ingin menangkapmu dan memakanmu."

Kancil yang cerdik tidak panik sekalipun meski dalam keadaan berbahaya. Kancil menjawab dengan santai, "Ohh, Buaya yang hebat, aku sangat menghormatimu. Tapi, tahukah kamu bahwa Raja Hutan telah mengutus aku untuk memerintahkan semua hewan untuk berkumpul besok pagi di tepi sungai?"

 

 

Buaya yang penasaran bertanya, "Mengapa Raja Hutan ingin semua hewan berkumpul di tepi sungai?" Kancil dengan tenang menjelaskan, "Raja Hutan ingin menetapkan siapa yang akan menjadi pemimpin sungai ini. Jadi, semua hewan, termasukmu, diundang untuk datang besok."

Mendengar kabar ini, Buaya merasa senang. Ia ingin menjadi pemimpin sungai dan mendapat penghormatan dari semua hewan.

 

 

Keesokan harinya, Buaya datang ke tepi sungai yang ramai oleh hewan-hewan dari hutan, termasuk Sapi yang besar dan kuat. Kancil, Buaya, dan Sapi duduk bersama. Raja Hutan menyampaikan, "Untuk menentukan siapa yang layak menjadi pemimpin sungai ini, kita akan mengadakan perlombaan. Kalian harus menyeberangi sungai dan kembali ke sini. Siapa yang pertama kali kembali akan menjadi pemimpin sungai."

 

 

Sapi, yang tidak pandai berenang, dengan percaya diri berkata, "Aku bisa menang! Aku memiliki kekuatan untuk menyeberangi sungai dengan mudah." Kancil dan Buaya menatap Sapi dengan penuh kekaguman. Kancil dengan licik berkata kepada Buaya, "Lihatlah, Sapi begitu yakin bahwa ia akan menang. Apakah kita tidak harus memberinya kesempatan untuk memimpin sungai?" Buaya, yang juga ingin memanfaatkan kesempatan ini, setuju dengan Kancil dan berkata, "Baiklah, Sapi. Kamu yang pertama kali akan menyeberangi sungai."

 

 

Sapi, yang tidak bisa berenang, dengan percaya diri melompat ke sungai. Tapi karena tidak bisa berenang, Sapi pun terjebak di tengah sungai dan hampir tenggelam. Kancil dan Buaya tertawa melihat kebingungan Sapi. Dengan cepat, Kancil melompat di punggung Buaya dan menyeberangi sungai dengan aman. Begitu tiba di tepi sungai, Kancil bersorak, "Aku menjadi yang pertama kali kembali! Sapi tidak bisa menjadi pemimpin sungai ini karena ia tidak bisa berenang!"

 

 

Buaya yang terkecoh juga menyadari tipu daya Kancil. Ia tidak bisa berbuat apa-apa kecuali mengakui kecerdikan Kancil. Dari hari itu, Buaya belajar untuk tidak terlalu percaya pada kata-kata dan selalu berhati-hati sebelum bertindak. Sedangkan Kancil, dengan kecerdikannya, berhasil menghindari bahaya dan menunjukkan bahwa kecerdasan lebih kuat daripada kekuatan fisik.

 

 

 

Moral dari cerita ini adalah kecerdasan dan kebijaksanaan sering kali lebih berharga daripada kekuatan fisik semata.

 

 

 

Legenda RAWA PENING, Naga Baru klinting (Cerita saka Jawa Tengah)

Dahulu kala, warga desa Ngebel terkejut melihat seekor ular yang sangat besar. Karena takut ular itu akan menyerang mereka, warga desa beramai-ramai menangkap ular yang bernama Baru Klinting itu. Setelah tertangkap ular itu dibunuh dan dagingnya disantap dalam sebuah pesta. Hanya satu warga desa yang tidak mereka ajak menikmati pesta itu, yaitu seorang nenek tua miskin bernama Nyai Latung.

 

Rawa Pening Ambarawa Jawa Tengah

 

        Beberapa hari kemudian muncul seorang anak laki-laki berumur sekitar sepuluh tahun. Ia tampak kumal dan tidak terawat, bahkan kulitnya pun ditumbuhi penyakit. Anak itu mendatangi setiap rumah dan meminta makanan kepada warga desa. Namun tak seorang pun memberinya makanan atau air minum. Mereka malah mengusirnya dan mencaci makinya.

 

 

        Akhirnya ia tiba di rumah yang terakhir, rumah Nyai Latung. Di depan rumah reot itu Nyai Latung sedang menumbuk padi dengan lesung.

 

“Nenek,” kata anak itu, “Saya haus. Boleh minta air, nek?”

 

 

        Nenek Latung mengambil segelas air yang diminum anak itu dengan lahap. Nyai Latung memandangi anak itu dengan iba.


“Mau air lagi? Kau mau makan? Tapi nenek cuma punya nasi, tidak ada lauk.”

“Mau, nek. Nasi saja sudah cukup. Saya lapar,” sahut anak itu.

 

 

        Nenek segera mengambilkan nasi dan sisa sayur yang ada. Ia juga mengambilkan air lagi untuk anak itu, Anak itu makan dengan lahap, hingga tidak sebutir nasipun tersisa.

 

 

“Siapa namamu, nak? Di mana ayah ibumu?”

 

“Namaku Baru Klinting. Ayah dan ibu sudah tiada.”

 

“Kau tinggal saja di sini menemani nenek,”

 

 

“Terima kasih, nek. Tapi saya pergi saja. Orang-orang di sini jahat, nek. Hanya nenek saja yang baik hati kepadaku.”

 

 

          Baru Klinting kemudian bercerita tentang warga desa yang tidak ramah kepadanya. Kemudian, ia pun pamit. Sebelum pergi, ia berpesan kepada Nyai Latung.

 

 

“Nek, nanti jika nenek mendengar suara kentongan, nenek naiklah ke atas lesung. Nenek akan selamat.”

 

 

         Meskipun tidak mengerti maksud Baru Klinting, Nyai Latung mengiyakan saja.

Baru Klinting masuk ke desa lagi. Ia mendatangi anak-anak yang sedang bermain. Ia mengambil sebatang lidi lalu menancapkannya di tanah. Lalu ia memanggil anak-anak.

 

 

“Ayo... siapa yang bisa mencabut lidi ini?”

 

 

            Anak - anak mengejek Baru Klinting namun ketika satu per satu mereka mencoba mencabut lidi, tak ada yang berhasil. Mereka pun memanggil anak-anak yang lebih besar. Semua mencoba, semua gagal. Orang-orang dewasa pun berkumpul dan mencoba mencabut lidi. Tetap tidak ada yang berhasil.

 

 

            Akhirnya Baru Klinting sendiri yang mencabut sendiri lidi itu. Dari lubang di tanah bekas menancapnya lidi memancar air yang makin lama makin banyak dan makin deras. Orang-orang berlarian kalang kabut, Salah seorang membunyikan kentongan sebagai tanda bahaya. Namun air cepat menjadi banjir dan menenggelamkan seluruh desa.

 

 

 

            Nyai Latung mendengar bunyi kentongan di kejauhan, Ia teringat pesan Baru Klinting dan segera naik ke atas lesung. Baru ia duduk di dalam lesung, air sudah datang dan makin tinggi. Lesung itu terapung-apung. Nyai Latung melihat para tetangganya sudah mati tenggelam.

 

 

            Setelah beberapa lama, air berhenti naik dan perlahan-lahan mulai surut. Lesung Nyai Latung terbawa menepi sehingga ia dapat naik ke darat. Hanya ia yang selamat dari banjir. Warga desa yang lain semuanya tewas.

 

 

            Air tidak seluruhnya kering kembali namun meninggalkan genangan luas berbentuk danau yang sekarang disebut Rawa Pening. Rawa Pening terletak di daerah Ambarawa.

 

 

 

            Rawa Pening luasnya 2670 hektare. Sekarang digunakan untuk pengairan dan budi daya ikan selain juga menjadi tempat wisata. Enceng gondok yang memenuhi permukaannya digunakan untuk bahan kerajinan dan keperluan lain. Sedangkan air sungai Tuntang yang berhulu di danau itu digunakan untuk pembangkit listrik. Namun sekarang Rawa Pening mengalami pendangkalan dan dikhawatirkan lambat laun akan lenyap bila tetap dibiarkan seperti saat ini.