Kerajaan Sriwijaya merupakan kerajaan Buddha yang
berdiri di Sumatera pada abad ke-7. Pendirinya adalah Dapunta Hyang. Kerajaan
ini pernah menjadi kerajaan terbesar di Nusantara, bahkan mendapat sebutan
Kerajaan Nasional I sebab pengaruh kekuasaannya mencakup hampir seluruh
Nusantara dan negara-negara di sekitarnya.
Letaknya
sangat strategis. Wilayahnya meliputi tepian Sungai Musi di Sumatera Selatan
sampai ke Selat Malaka (merupakan jalur perdagangan India – Cina pada saat
itu), Selat Sunda, Selat Bangka, Jambi, dan Semenanjung Malaka.
PRASASTI KEDUKAN BUKITPRASASTI TALANG TUO
PRASASTI KARANG BRAHI
PRASASTI KOTA KAPUR
PRASASTI TELAGA BATU
PRASASTI LIGOR
Sriwijaya dikenal sebagai kerajaan besar dan masyhur.
Selain mendapat julukan sebagai Kerajaan Nasional I, Sriwijaya juga mendapat
julukan Kerajaan Maritim disebabkan armada lautnya yang kuat. Raja-rajanya yang
terkenal adalah Dapunta Hyang (pendiri Sriwijaya) Balaputradewa, dan Sanggrama
Wijayatunggawarman. Berdasarkan Prasasti Kedukan Bukit diketahui bahwa Raja
Dapunta Hyang berhasil memperluas wilayah Kerajaan Sriwijaya dari Minangatwan
sampai Jambi.
Pemerintahan Raja Balaputradewa berhasil mengantarkan
Sriwijaya menjadi kerajaan yang besar dan mencapai masa kejayaan. Balaputradewa
adalah putra Raja Syailendra, Samaratungga, yang karena dimusuhi saudarinya,
Pramodhawardhani (istri Raja Pikatan dari wangsa Sanjaya), terpaksa melarikan
diri ke Sriwijaya. Saat itu, Sriwijaya diperintah oleh Raja Dharmasetu, kakek
dari ibunda Balaputradewa.
Raja ini tidak berputra sehingga kedatangan
Balaputradewa disambut dengan baik, bahkan diserahi takhta dan diangkat menjadi
raja di Sriwijaya. Dalam masa pemerintahannya, Sriwijaya mengadakan hubungan
dengan Nalanda dalam bidang pengembangan agama Buddha. Pada masa pemerintahan
Sanggrama Wijayattunggawarman, Sriwijaya mendapat serangan dari Kerajaan
Colamandala. Sang Raja ditawan dan baru dilepaskan ketika Colamandala
diperintah Raja Kolottungga I.
Kehidupan
ekonomi
Letak
Sriwijaya sangat strategis, yakni di tengah jalur perdagangan India - Cina,
dekat Selat Malaka yang merupakan urat nadi perhubungan daerah-daerah di Asia
Tenggara. Menurut Coedes, setelah Kerajaan Funan runtuh, Sriwijaya berusaha
menguasai wilayahnya agar dapat memperluas kawasan perdagangannya.
Untuk
mengawasi kelancaran perdagangan dan pelayarannya, Sriwijaya menguasai daerah
Semenanjung Malaya, tepatnya di daerah Ligor. Adanya hubungan perdagangan
dengan Benggala dan Colamandala di India, lalu lintas perdagangan Sriwijaya
makin ramai. Ekspor Sriwijaya terdiri atas gading,
kulit, dan beberapa jenis binatang. Adapun impornya adalah sutra, permadani,
dan porselin.
Hubungan
Sriwijaya dengan lndia
Di daerah
Benggala, di India, ada sebuah kerajaan bernama Nalanda yang diperintah oleh
dinasti Pala. Kerajaan ini berdiri sejak abad ke 8 hingga pada abad ke 11.
Rajanya yang terbesar adalah raja Dewa Pala. Hubungan Sriwijaya dengan kerajaan
ini sangat baik, terutama dalam bidang kebudayaan, khususnya dalam pengembangan
agama Buddha. Banyak bhiksu dari Kerajaan Sriwijaya yang belajar agama Buddha
di perguruan tinggi Nalanda.
Hubungan
Kerajaan Sriwijaya dengan Kerajaan Colamandala
Hubungan
kedua kerajaan ini pada awalnya sangat baik. Diawali dengan hubungan dalam
bidang agama kemudian meningkat ke bidang ekonomi perdagangan. Pada tahun 1006,
Raja Sriwijaya bernama Sanggrama Wijayattunggawarman mendirikan biara di
Colamandala untuk tempat tinggal para bhiksu dari Sriwijaya.
Akibat
adanya persaingan dalam pelayaran dan perdagangan, persahabatan kedua kerajaan
itu berubah menjadi permusuhan. Raja Rajendra Cola menyerang Sriwijaya sampai
dua kali. Serangan pertama pada tahun 1007 gagal. Serangan kedua pada tahun
1023/1024 berhasil merebut kota dan bandar dagang Sriwijaya. Raja Sanggrama
Wijayattunggawarman berhasil ditawan dan baru dibebaskan pada zaman Raja
Kulottungga I.
Kekayaan
Sriwijaya diperoleh dari :
1. bea masuk
dan keluar bandar-bandar Sriwijaya
2. bea cukai
semua kapal yang melalui perairan Asia Tenggara
3. upeti
persembahan dari raja-raja negara vasal, da
4. hasil
keuntungan perdagangan.
Kemunduran
Sriwijaya
Pada akhir
abad ke-13, Kerajaan Sriwijaya mengalami kemunduran yang disebabkan oleh
faktor-faktor berikut.
1) Faktor
geologis, yaitu adanya pelumpuran Sungai Musi sehingga para pedagang tidak singgah
lagi di Sriwijaya.
2) Faktor
politis, yaitu jatuhnya Tanah Genting Kra ke tangan Siam membuat pertahanan
Sriwijaya di sisi utara melemah dan perdagangan mengalami kemunduran.
Di sisi
timur, kerajaan ini terdesak oleh Kerajaan Singasari yang dipimpin Kertanegara.
Akibat dari
serangan ini, Melayu, Kalimantan, dan Pahang lepas dari tangan Sriwijaya.
Desakan lain datang dari Kerajaan Colamandala dan Sriwijaya akhirnya
benar-benar hancur karena diserang Majapahit.
3) Faktor
ekonomi, yaitu menurunnya pendapatan Sriwijaya akibat lepasnya daerah-daerah
strategis untuk perdagangan ke tangan kerajaan-kerajaan lain.
0 Comments:
Post a Comment