Pengertian Tembung Garba Bahasa Jawa dan Contohnya

        Tembung Garba dalam bahasa Indonesia adalah gabungan dua kata atau lebih yang digabung menjadi satu dengan cara mengurangi jumlah suku katanya, sehingga menghasilkan kata baru.

 

 

 

 
 

    Garba tegese sesambungan, rerangken, gegandhengan. Dalam bahasa Jawa Tembung Garba inggih punika tembung loro utawa luwih kang digandheng dadi siji kanthi ngurangi wandane saengga dadi tetembungan kang anyar. Tembung garba uga diarani tembung kang Sinandhi.

 

 

 

    Tujuan dari penggabungan kata ini (tembung garba) adalah supaya dalam pengucapan atau pelafalan lebih ringkas. Karena tembung garba Seringkali digunakan atau dijumpai pada Karya Sastra Jawa Tembang Macapat. Tembang macapat adalah karya sastra Jawa yang penulisannya dibatasi oleh aturan- aturan baku yang mengikatmulai dari guru sastra, guru lagu dan guru wilangannya.

 

 

 

    Rumus dasar penulisan tembung Garba, Wewatone tembung garba, yaitu:

 

 

No

 

Rumus

 

Contoh kata

Tembung Garba

 

Kata pertama

 

Kata kedua

 

1.

a + a = a

sesotya

adi

sesotyadi

 

2.

a + i = e

parama

iswara

parameswara

 

3.

a + u = o

sara

utama

sarotama

 

4.

a + o = o

dadya

ujat

dadyojat

 

5.

i + i = i

siti

inggil

sitinggil

 

6.

i + a = ya

lagi

antuk

lagyantuk

 

7.

u + a = wa

masku

ari

maskwari

 

8.

u + i = wi        

munggu

ing

mungguwing

9.

o + a = wa

kebo

alasan

kebwalasan

 

 

 

Pengingat:

 

a.   Kata yang bisa di gabung adalah kata pertama yang akhirannya vocal dan kata kedua awalannya vocal.

 

b.   Kata yang akhirannya “h” bisa digabung dengan kata yang awalan katanya vocal dengan cara membuang huruf “h” contohnya: sugih + arta = sugyarta.

 

c.   Huruf u + i di bahasa Jawa gagrag anyar banyak yang berubah menjadi “we” contohnya lumaku + ing = lumakweng.

 

 

 

Pangeling –eling:

a.   Tembung kang kena digarba iki tembung kapisan kang wasana vocal karo tembung kang kapindho apurwa vocal.

b.   Tembung kang wasana “h” kena digarba karo tembung kang purwa vocal sarana mbuwang aksara “h” iku, tuladha: sugih + arta = sugyarta.

c.   Aksara u + i  ing basa Jawa anyar akeh sing dadi we kayata lumaku + ing = lumakweng.

 

 

 

Supaya tidak bingung, simak beberapa contoh tembung garba di bawah ini,

 

        Contoh-Contoh Tembung Garba

 

No

Contoh kata

Tembung Garba

Kata pertama

Kata kedua

1

ana

ing

aneng

2

arane

iki

araneki

3

dadi

ewuh

dadyewuh

4

dadya

ujat

dadyojat

5

dhemen

anyar

dhemenyar

6

dupi

arsa

dupyarsa

7

isih

enom

sinom

8

jalu

estri

jalwestri

9

jiwa

angga

jiwangga

10

kaloka

ing

kalokeng

11

kebo

alasan

kebwalasan

12

lagi

antuk

lagyantuk

13

maha

raja

maharja

14

maha

resi

maharsi

15

mara

ing

mring

16

masku

ari

maskwari

17

munggu

ing

mungguwing

18

murba

ing

murbeng

19

nara

endra

narendra

20

nata

ing

nateng

21

nuju

ana

nujwan

22

parama

iswara

parameswara

23

prama

iswari

prameswari

24

prapta

ing

prapteng

25

prawira

ing

prawireng

26

priya

agung

priyagung

27

raja

endra

rajendra

28

ratu

agung

ratwagung

29

sara

utama

sarotama

30

sarwa

endah

sarwendah

31

sesotya

adi

sesotyadi

32

sira

iku

sireku

33

siti

inggil

sitinggil

34

siti

inggil

sitinggil

35

sumbang

asih

sumbangsih

36

taksih

alit

taksyalit

37

tumeka

ing

tumekeng

38

wira

utama

wirotama

   



 

 



Legenda RAWA PENING, Naga Baru klinting (Cerita saka Jawa Tengah)

Dahulu kala, warga desa Ngebel terkejut melihat seekor ular yang sangat besar. Karena takut ular itu akan menyerang mereka, warga desa beramai-ramai menangkap ular yang bernama Baru Klinting itu. Setelah tertangkap ular itu dibunuh dan dagingnya disantap dalam sebuah pesta. Hanya satu warga desa yang tidak mereka ajak menikmati pesta itu, yaitu seorang nenek tua miskin bernama Nyai Latung.

 

Rawa Pening Ambarawa Jawa Tengah

 

        Beberapa hari kemudian muncul seorang anak laki-laki berumur sekitar sepuluh tahun. Ia tampak kumal dan tidak terawat, bahkan kulitnya pun ditumbuhi penyakit. Anak itu mendatangi setiap rumah dan meminta makanan kepada warga desa. Namun tak seorang pun memberinya makanan atau air minum. Mereka malah mengusirnya dan mencaci makinya.

 

 

        Akhirnya ia tiba di rumah yang terakhir, rumah Nyai Latung. Di depan rumah reot itu Nyai Latung sedang menumbuk padi dengan lesung.

 

“Nenek,” kata anak itu, “Saya haus. Boleh minta air, nek?”

 

 

        Nenek Latung mengambil segelas air yang diminum anak itu dengan lahap. Nyai Latung memandangi anak itu dengan iba.


“Mau air lagi? Kau mau makan? Tapi nenek cuma punya nasi, tidak ada lauk.”

“Mau, nek. Nasi saja sudah cukup. Saya lapar,” sahut anak itu.

 

 

        Nenek segera mengambilkan nasi dan sisa sayur yang ada. Ia juga mengambilkan air lagi untuk anak itu, Anak itu makan dengan lahap, hingga tidak sebutir nasipun tersisa.

 

 

“Siapa namamu, nak? Di mana ayah ibumu?”

 

“Namaku Baru Klinting. Ayah dan ibu sudah tiada.”

 

“Kau tinggal saja di sini menemani nenek,”

 

 

“Terima kasih, nek. Tapi saya pergi saja. Orang-orang di sini jahat, nek. Hanya nenek saja yang baik hati kepadaku.”

 

 

          Baru Klinting kemudian bercerita tentang warga desa yang tidak ramah kepadanya. Kemudian, ia pun pamit. Sebelum pergi, ia berpesan kepada Nyai Latung.

 

 

“Nek, nanti jika nenek mendengar suara kentongan, nenek naiklah ke atas lesung. Nenek akan selamat.”

 

 

         Meskipun tidak mengerti maksud Baru Klinting, Nyai Latung mengiyakan saja.

Baru Klinting masuk ke desa lagi. Ia mendatangi anak-anak yang sedang bermain. Ia mengambil sebatang lidi lalu menancapkannya di tanah. Lalu ia memanggil anak-anak.

 

 

“Ayo... siapa yang bisa mencabut lidi ini?”

 

 

            Anak - anak mengejek Baru Klinting namun ketika satu per satu mereka mencoba mencabut lidi, tak ada yang berhasil. Mereka pun memanggil anak-anak yang lebih besar. Semua mencoba, semua gagal. Orang-orang dewasa pun berkumpul dan mencoba mencabut lidi. Tetap tidak ada yang berhasil.

 

 

            Akhirnya Baru Klinting sendiri yang mencabut sendiri lidi itu. Dari lubang di tanah bekas menancapnya lidi memancar air yang makin lama makin banyak dan makin deras. Orang-orang berlarian kalang kabut, Salah seorang membunyikan kentongan sebagai tanda bahaya. Namun air cepat menjadi banjir dan menenggelamkan seluruh desa.

 

 

 

            Nyai Latung mendengar bunyi kentongan di kejauhan, Ia teringat pesan Baru Klinting dan segera naik ke atas lesung. Baru ia duduk di dalam lesung, air sudah datang dan makin tinggi. Lesung itu terapung-apung. Nyai Latung melihat para tetangganya sudah mati tenggelam.

 

 

            Setelah beberapa lama, air berhenti naik dan perlahan-lahan mulai surut. Lesung Nyai Latung terbawa menepi sehingga ia dapat naik ke darat. Hanya ia yang selamat dari banjir. Warga desa yang lain semuanya tewas.

 

 

            Air tidak seluruhnya kering kembali namun meninggalkan genangan luas berbentuk danau yang sekarang disebut Rawa Pening. Rawa Pening terletak di daerah Ambarawa.

 

 

 

            Rawa Pening luasnya 2670 hektare. Sekarang digunakan untuk pengairan dan budi daya ikan selain juga menjadi tempat wisata. Enceng gondok yang memenuhi permukaannya digunakan untuk bahan kerajinan dan keperluan lain. Sedangkan air sungai Tuntang yang berhulu di danau itu digunakan untuk pembangkit listrik. Namun sekarang Rawa Pening mengalami pendangkalan dan dikhawatirkan lambat laun akan lenyap bila tetap dibiarkan seperti saat ini.