Konon nenek moyang masyarakat Jawa sejak jaman dahulu sudah banyak meninggalkan ajaran kebajikan yang tercermin dalam lagu, syair dan bentuk tulisan. peninggalan para leluhur Jawa modern banyak ditulis dalam bentuk bahasa Sansekerta dan berhurufkan huruf Jawa (Aksara Jawa).
Aji Saka dan Prabu Dewata Cengkar |
kita sebagai generasi muda harus bisa melestarikan peninggalan nenek moyang, melestarikan budaya tidak hanya sebatas mengetahui atau membaca naskah kuno saja tapi juga harus bisa memahami isinya.
Sebelum kita mengenal lebih jauh hasil karya yang bertuliskan Aksara Jawa, kita harus mengetahui dahulu bagaimana terbentuknya Aksara Jawa, asal usul Aksara Jawa.
Ada beberapa kisah legenda mengenai adanya Aksara Jawa atau asal usul Aksara Jawa yang kita kenal sampai sekarang ini. Berikut beberapa referensi paling kuat dan sering dikisahkan dalam pembelajaran di sekolah. kisah legenda munculnya Aksara Jawa.
Ada seorang ksatria hebat gagah perkasa yang berasal dari tanah Jawa yang bernama Aji Saka. Aji Saka ini memiliki dua orang abdi yang sangat setia kepadanya, abdi tersebut bernama Dora dan Sembada.
Suatu ketika Aji saka melakukan perjalanan ke kerajaan Medang Kamulan yang pada saat itu diperintah oleh raja Prabu Dewata Cengkar. Prabu Dewata Cengkar suka makan daging manusia. Setiap hari Prabu Dewata Cengkar selalu meminta para pelayan dan prajuritnya untuk menghidangkan daging manusia sebagai makanan sehari-harinya. Hal tersebut pastinya meresahkan masyarakat daerah Medang Kamulan. Mendengar hal itu dari para masyarakat, meningkatkan Keinginan Aji Saka untuk melawan raja prabu Dewata Cengkar dengan ditemani oleh kedua abdinya, Dora dan Sembada.
Singkat cerita, Sampailah Aji Saka dan abdinya di sebuah perbatasan pinggir hutan yang sudah masuk daerah kekuasaan dari kerajaan Medang Kamulan . Sebelum memasuki wilayah kerajaan tersebut, Abdi yang bernama Sembada diperintahkan oleh Aji Saka supaya tetap tinggal dan menjaga keris pusaka miliknya. Aji Saka berpesan, supaya keris tersebut benar - benar dijaga dan tidak boleh diserahkan kesiapapun kecuali ke Aji Saka saja. Perjalanan berlanjut tanpa Sembada dan hanya dengan abdinya Dora. sebelum sampai ditempat Medang Kamulan Aji Saka meminta Dora abdinya untuk tinggal ditempat dan ingin melanjutkan perjalanan seorang diri.
Setelah bertemu dan berhadapan langsung dengan Prabu Dewata Cengkar, kemudian Aji Saka membuat kesepakatan. Aji Saka menerima dirinya dimakan oleh sang Prabu Dewata Cengkar tetapi dengan satu syarat, yaitu Prabu Dewata Cengkar berkenan memberikan tanah kekuasaannnya seluas sorban atau ikat kepala yang dikenakannya.
Akhirnya Sang Prabu Dewata Cengkar menerima permintaan tersebut. Kemudian Aji Saka meminta kepada Prabu Dewata Cengkar untuk mengukur tanah permintaannya dengan cara memegang salah satu ujung surban dan ujung surban yang arah lainnya dipegang oleh Aji Saka sendiri.
Mulailah Prabu Dewata Cengkar menarik surban tersebut dan terbentang. Dewata Cengkar terus bergerak mundur membentangkannya. mulai membuka sorban, menariknya agar terbentang. Dengan kesaktian yang dimiliki Aji Saka, sorban tersebut tak habis-habisnya terbentang, terus terbentang, Prabu Dewata Cengkar pun terus berjalan untuk membentangkannya. Sampailah sang Prabu Dewata Cengkar berada di tepi jurang batu karang, tepi laut yang sangat dalam dan terjal.
Dengan cekatan Aji Saka menggoyangkan sorbannya tersebut dan akhirnya Prabu Dewata terhempas dan terlempar ke tengah lautan yang dalam dan tejal tersebut. Akhirnya matilah sang prabu Dewata Cengkar, rakyat pun bersuka cita serta menjadikan Aji Saka seorang raja di Medang Kamulan.
Setelah lama menjadi raja, Aji SAka baru ingat akan kerisnya yang tertinggal yang dititipkan ke abdinya, Sembada. Aji Saka pun menyuruh abdinya yang bernama Dora Agar mengambil kembali keris pusakanya tersebut. Berangkatlah Dora untuk mengambil keris dari tangan rekannya Sembada. Sampailah Dora di tempat Sembada. Untuk awalnya mereka saling berbincang satu sama lain menanyakan kondisi masing-masing.
Barulah kemudian perbincangan mengarah ke hal utama yakni permintaan Dora untuk mengambil keris pusaka milik Aji Saka untuk diberikan kepada Aji Saka di Medang Kamulan. Sembada jadi ingat akan pesan yang diberikan oleh Aji Saka dulu, bahwasanya hanya Aji Saka sajalah yang boleh mengambilnya dan langsung menolak permintaan Dora. Sedangkan Dora juga harus mematuhi perintah tuannya agar mengambil keris tersebut. Keduanya tidak mau mengalah satu sama lain dan menjaga amanahnya.
Akhirnya mereka berdua bertengkar dan bertempur sampai mati. Kekuatan dan kesaktian mereka berdua sama sama imbang, akhirnya mereka berdua tewas bersama-bersama. Kabar kematian kedua abdinya santer terdengar sampai ke telinga Aji Saka. Aji Saka benar-benar menyesal akan kecerobohannya tersebut.
Untuk menghormati kesetiaan kedua abdinya tersebut, Aji Saka membuat barisan huruf atau aksara seperti yang kita kenal sampai sekarang dengan sebutan Aksara Jawa.
Barisan kasara tersebut yaitu:
Ha Na Ca Ra Ka = ada dua orang utusan
Da Ta Sa Wa La = saling bertempur mempertahankan amanah
Pa Dha Ja Ya Nya = karena sama tingkat kesaktiannya/ilmunya
Ma Ga Ba Tha Nga = maka keduanya mati, menjadi bathang (bangkai)
Deret aksara untuk mengenang pengabdian kedua abdinya Dora dan Sembada inilah yang kemudian dikenal sebagai aksara Jawa.